Senin, 13 Mei 2013

IDENTIFIKASI dan MORFOLOGI AMPHIBIA



I.  PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Herpetofauna berasal dari kata herpeton yaitu binatang melata. Dahulu, sebelum ilmu taksonomi berkembang maju, amfibi dan reptil dimasukkan menjadi satu kelompok hewan karena diangap sama-sama melata.Dengan berkembangnya ilmu, mereka kini menjadi dua kelompok terpisah.  Kedua kelompok ini masuk ke dalam satu bidang yaitu ilmu herpetologi karena mereka mempunyai cara hidup dan habitatnya yang hampir serupa, sama-sama satwa vertebrata ektotermal (membutuhkan sumber panas eksternal), serta metode untuk pengamatan dan koleksi yang serupa.  Indonesia memiliki jenis-jenis amfibi dan reptil yang beragam. Posisi geografis Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan benua  Australia merupakan salah satu sebab beragamnya jenis ini.  Baik amfibi maupun reptil ditemukan di semua pulau-pulau di Indonesia mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi.  Amfibi tidak dijumpai di laut, namun sebaliknya reptil memiliki penyebaran yang lebih beragam (Mirza, 2010).
          Amfibia atau amfibi (Amphibia), umumnya didefinisikan sebagai hewan bertulang belakang (vertebrata) yang hidup di dua alam, yakni di air dan di daratan. Amfibia bertelur di air, atau menyimpan telurnya di tempat yang lembab dan basah. Ketika menetas, larvanya yang dinamai berudu hidup di air atau tempat basah tersebut dan bernapas dengan insang. Setelah beberapa lama, berudu kemudian berubah bentuk (bermetamorfosa) menjadi hewan dewasa, yang umumnya hidup di daratan atau di tempat-tempat yang lebih kering dan bernapas dengan paru-paru (Iskandar, 1998).
Amfibia merupakan hewan yang kerap disebut berdarah dingin.  Istilah ini kuranglah tepat karena suhu bagian dalam, yang diatur mengunakan perilaku mereka, seringkali lebih panas daripada burung dan mamalia terutama pada saat mereka aktif.Bahan suhu tubuh mereka, terutama di iklim panas, bisa jadi lebih panas daripada hewan-hewan yang dikenal sebagai “berdarah panas”. Baik amfibi maupun reptil bersifat ectothermic dan poikilotherm  yang berarti mereka menggunakan sumber panas dari lingkungan untuk memperoleh energi. Perbedaan utama antara “berdarah dingin” dan “berdarah panas” adalah yang pertama suhu tubuhnya lebih berfluktuasi dengan adanya masukan dari lingkungan.Sementara hewan berdarah panas (mamalia, misalnya) adalah homeothermic dimana suhu tubuh dikelola dengan metabolism tubuh.Beberapa reptil besar seperti buaya, penyu dan kadal besar bahkan mencapai tingkat homeothermy, yaitu suhu mereka tidak terlalu berfluktuasi dengan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh adanya proses giganthothermy, dimana hewan yang sangat besar akan mempertahankan suhu badan konstan dengan sedikit masukan dari lingkungan (Mirza, 2010).
          Hewan poikilotherm memiliki metabolism rendah, oleh karena itu mereka mampu tidak makan dalam waktu yang relatif lama.  Sebagai contoh, beberapa jenis ular dapat makan hanya satu bulan sekali. Namun demikian, kebanyakan  katak harus makan setiap hari atau beberapa hari sekali, kecuali pada saat dorman dimana mereka bisa tidak makan selama beberapa bulan (Nazri dan Novarino, 2009).
Morfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk luar suatu organisme.Bentuk luar dari organisme ini merupakan salah satu ciri yang mudah dilihat dan diingat dalam mempelajari organisme. Bentuk tubuh pada mahluk hidup, termasuk pada hewan air juga erat kaitannya dengan anatomi, sehingga ada baiknya sebelum melihat anatominya; terlebih dahulu kita melihat bentuk tubuh atau penampilan (morfologi) hewan tersebut.Adapun yang dimaksud dengan bentuk luar organisme ini adalah bentuk tubuh, termasuk di dalamnya warna tubuh yang kelihatan dari luar.  Amphibia merupakan hewan vertebrata yang suhu tubuhnya tergantung suhu lingkungan, kulit lunak tanpa ditutupi oleh rambut atau bulu. Amphibia terdiri dari tiga bangsa yaitu Caudata atau Salamander merupakan satu-satunya bangsa yang tidak terdapat di Asia Tenggara, Sesilia atau Gimnophiona berbentuk seperti cacing dan yang ketiga adalah Anura yang lazim kita kenal sebagai katak atau kodok. (Iskandar, 1998).
Amphibia mempunyai potensi yang cukup besar untuk membantu manusia menanggulangi hama serangga. Alasannya, pertama karena pakan utama hampir seluruh jenis amphibi adalah serangga dan larvanya, kedua karena amphibi mudah dijumpai dimana saja.Amphibi juga sangat erat kaitannya dengan manusia, diantaranya dalam dunia kedokteran, amphibi telah lama dimanfaatkan untuk tes kehamilan yang banyak dijual di apotik seperti sekarang. Beberapa lembaga penelitian, saat ini tengah melakukan mencari berbagai bahan anti bakteri dari beberapa jenis amfibi yang diketahui memiliki ratusan kelenjar yang terletak di bawah jaringan kulit.Beberapa peneliti juga sedang meneliti kemungkinan memanfaatkan cairan kelenjar dari beberapa jenis amphibi yang biasa lengket untuk digunakan sebagai bahan perekat alami (Djuhanda, 1983).
Ketergantungan amfibi terhadap lingkungannya bagi kepentingan suhu tubuhnya membuat amfibi umumnya terbatas pada habitat spesifik.  Karena amfibi memiliki kontrol yang kecil terhadap suhu tubuhnya, maka demi kesehatan maka amfibi harus tetap berada dalam lingkungan dengan batas-batas suhu yang sesuai.Dalam satu habitat, banyak terdapat mikro-habitat yang memiliki suhu berbeda dengan suhu ambien. Amfibi menggunakan posisi tubuh untuk memanfaatkan mikro-habitat ini, yaitu dengan cara memaparkan tubuh ke permukaan atau sebaliknya. Beberapa jenis amfibi juga mampu mengurangi kehilangan uap air dari kulit, yang merupakan tehnik penguruangan suhu yang penting.Kebanyakan amfibi mampu mengubah warna agar mampu menyerap atau merefleksikan jumlah radiasi matahari. Katak pohon dari marga Hylidae misalnya, seringkali memiliki warna hijau yang berbeda saat panas (Mirza, 2010).
Amphibia juga sangat peka terhadap perubahan lingkungan.Kepekaan ini dapat dijadikan sebagai indikator terjadinya perubahan lingkungan di sekitarnya.Dampak perubahan lingkungan terlihat pada turunnya populasi yang disertai turunnya keanekaragaman jenis kodok.Contoh amfibia yang terdapat di Indonesia adalah bangsa sesilia (Caecilia), serta bangsa kodok dan katak (Anura).Sesilia adalah semacam amfibia tidak berkaki yang badannya serupa cacing besar atau belut.Satu lagi bangsa amfibia, yang tidak terdapat secara alami di Indonesia, adalah salamander.Amfibia dari daerah bermusim empat ini bertubuh serupa kadal, namun berkulit licin tanpa sisik (Eprilurahman, 2007).
          Anura merupakan kelompok amphibi yang terbesar dan sangat beragam, terdiri dari lebih 4100 jenis katak atau kodok. Sekitar 450 jenis telah dicatat dari Indonesia, merupakan taksa individu diluar Amerika Selatan mewakili 11% dari seluruh anura di dunia (Iskandar,1998).
          Amphibian merupakan peralihan dari hewan amniota akuatik dengan teresterial, telurnya tidak punya cangkang sehingga dapat lebih mudah dipelajari untuk biologi perkembangan (Duelman dan Trueb, 1986).
          Katak dianggap sebagai salah satu contoh vertebrata yang dipelajari, karena ketersediannya, kesenggangan dan pembelajaran serta kepentingan di penelitian zoologi yang sangat dibutuhkan. Memang tidak satupun tipe yang benar-benar bisa mewakili dari macam-macam subfilum. Sebagai salah satu anggota dari amphibian, berlangsung sesuatu yang berkenaan dengan evolusi. Posisi atau tempat diantara yang primitive, nenek moyang dan lanjutan dari mamalia darat (Nazri dan Novarino, 2009).
          Di dunia, Anura terdiri dari 25 family dengan 333 genera dan 3843 spesies. Di Indonesia terdapat 10 famili Anura yaitu Bufonidae, Bombinatoridae, Myobatrachidae, Megophrydae, Ranidae, Rhacophoridae, Pelodrydidae, Hylidae, dan Limnodynastidae dengan lebih kurang 489 spesies (Nazri dan Novarino, 2009).
          Family Bufonidae yang ditemukan di Indonesia terdiri dari enam genus yaitu Ansonia, Leptophryne, Pedostibes, Pelophryne, Pseudobufo dan Bufo. Bufo merupakan genus yang paling  umum dan tersebar diantara semua bufonidae. Bufo memiliki ciri-ciri tubuh gemuk, tekstur kulitnya sangat kasar, tertutup oleh bintil besar dan kecil, terdapat sepasang kelenjer paratoid dibelakang mata yang menghasilkan kelenjer racun untuk melindungi diri dari predator (Inger dan Stuebing, 1997).
Sedangkan kunci determinasi itu adalah suatu cara pengelompokan spesies ikan berdasarkan karakter morfologinya. Gunanya kunci determinasinya ini adalah untuk mempermudah dalam pengenalan spesies-spesies ikan, biasanya diukur oleh dua karakter (Munshi, 1996).

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum mengenai Identifikasi, Morfologi dan Kunci Determinasi Amphibia ini adalah untuk mengetahui karakteristik morfologi dari beberapa jenis Anura dan membuat kunci identifikasinya berdasarkan karakter yang diperoleh.

1.3  Tinjauan Pustaka
Amfibi merupakan hewan yang kerap disebut berdarah dingin.  Istilah ini kuranglah tepat karena suhu bagian dalam, yang diatur mengunakan perilaku mereka, seringkali lebih panas daripada burung dan mamalia terutama pada saat mereka aktif.Bahan suhu tubuh mereka, terutama di iklim panas, bisa jadi lebih panas daripada hewan-hewan yang dikenal sebagai “berdarah panas”. Amfibi bersifat ectothermic dan poikilotherm  yang berarti mereka menggunakan sumber panas dari lingkungan untuk memperoleh energi. Perbedaan utama antara “berdarah dingin” dan “berdarah panas” adalah yang pertama suhu tubuhnya lebih berfluktuasi dengan adanya masukan dari lingkungan.Sementara hewan berdarah panas (mamalia, misalnya) adalah homeothermic dimana suhu tubuh dikelola dengan metabolisme tubuh. Hal ini disebabkan oleh adanya proses giganthothermy, dimana hewan yang sangat besar akan mempertahankan suhu badan konstan dengan sedikit masukan dari lingkungan (Mirza, 2010).
Amphibi merupakan hewan dengan kelembaban kulit yang tinggi, tidak tertutupi oleh rambut dan mampu hidup di air maupun di darat.Pada fase berudu amphibi hidup di perairan dan bernafas dengan insang.Pada fase ini berudu bergerak menggunakan ekor.Pada fase dewasa hidup di darat dan bernafas dengan paru-paru.Pada fase dewasa ini amphibi bergerak dengan kaki. Perubahan cara bernafas yang seiring dengan peralihan kehidupan dari perairan ke daratan menyebabkan hilangnya insang dan rangka insang lama kelamaan menghilang. Pada anura, tidak ditemukan leher sebagai mekanisme adaptasi terhadap hidup di dalam liang dan bergerak dengan cara melompat (Duellman and Trueb, 1986).
          Amphibian merupakan  perintis vertebrata daratan, paru-paru dan tulang anggota tubuh yang diwarisi dari moyang Krosopterigia, memberikan lokomosi dan bernafas di udara. Atrium kedua dalamnya untuk dipompa keseluruhan badan dengan tekanan penuh (Jasin, 1984).
          Amphibi terdiri dari tiga ordo yaitu Urodela, Anura dan Gymnophiona. Urodela dikenal juga dengan caudate atau salamander merupakan satu-satunya bangsa yang tidak terdapat dihampir seluruh asia tenggara, termasuk Indonesia. Daerah terdekat yang dihuni oleh salamander adalah Vietnam utara dan Thailand utara. Ordo kedua yang  paling terkenal, yang paling kecil dan sangat jarang ditemui adalah Gymnophiona atau  Cecilia, bentuknya seperti cacing dengan kepala dan mata yang tampka jelas dan mudah dikelirukan  dengan cacing. Sebagian besar amphibi Indonesia termasuk kedalam ordo ketiga yaitu anura atau katak. Katak yang paling primitive terdapat di Kalimantan dan termasuk kedalam suku Bombinatoridae (Discoglissidae). Kelompok katak lain yang dianggap primitive termasuk kedalam suku kedua yaitu Megophryidae (Paleobattidae) dan 2 jenis introduksi dari suku pipidae (Xenopuslaevis dan Hymenochirus sp). Katak lain yang tidak termasuk kedalam kedua golongan tersebut akan mewakili semua katakdianggap sebagai katak yang telah maju (Iskandar,1998).
          Ciri-ciri lain dari 3 ordo amphibian, yaitu larva dari salamander dapat mempertahankan insangnya selama hidupnya. Sebenarnya pada amphibi terdapat banyak archus aorticus, seperti pada ikan. Amphibi hanya memiliki beberapa arcus aorticus setelah mengalami metamorphosis, tapi sepasang arcus aorticusnya seprti pada reptilian. Amphibi Labirinthodont (yang sudah berupa fosil) diduga sebagai nenek moyang dari reptilian yang paling tua dan juga untuk semua vertebrata darat yang tinggi. Salamander mempunyai caput, cerviks dan truncus yang silindris atau agak pipih dan mempunyai caudal yang panjang. Sedangkan 2 ordo yang lainnya mempunyai caput dan truncus tanpa cervix dan caudal, extremitas muka kecil sedangkan yang belakang panjang, selaput gendang pendengar tampak dari luar. Pada ordo Cecilia badan seolah-olah tersusun atas gelang-gelang dan kulitnya mengandung sisik dalam (Jasin,1984).
          Salah satu ciri khas katak adalah memiliki fase atau siklus hidup yang kompleks. Siklus hidup katak disebut metamorphosis. Setiap spesies katak mempunyai fase hidup tersendiri (Inger dan Stubieng,1997).
          Pada umunya katak aktif pada malam hari (nocturnal) dan biasanya berada dengan posisi kepala mengahadap ke air (Djafnir,1984). Ketika makan, katak menjulurkan lidahnya yang panjang dan lunak untuk menangkap mangsa. Makannannya terutama terdiri dari arthropoda, cacing, larva serangga, ikan kecil, udang, kerang, katak muda bahkan kadal, ular dan tikus kecil (Iskandar, 1998 ; Inger and Stubieng, 1997 : Harun, 1984). Suhu udara yang turun pada malam hari dan naiknya elembaban udara atau kalau ada hujan member kondisi yang baik bagi kegiatan katak (Sidik,1998).
Menurut Djuhanda (1983), tubuh Anura terdiri dari kepala dan badan, leher belum nampak jelas padanya. Kulit sebagian terlepas dari otot, sehingga yang ada disebelah dalam saja yang melekat pada otot, kulit katak yang terlepas dari otot  merupakan rongga-rongga yang berisi cairan karena adanya sekresi kelenjer-kelenjer mucus, yang bnayak sekali terdapat pada kelas amphibia ini. Selain itu, kulit-kulit katak ini juga mengandung kapiler-kapiler darah dan cabang-cabang vena kurenea magna dan arterikuranea.
          Anura tidak mempunyai alat fisik untuk mempertahankan diri, hampi semua anggota dari genus Limnonectes mempunyai geligi seperti taring dibagian depan rahang atas yang berfungsi sebagai alat pertahanan diri. Hanya ada 4 jenis katak yang dapat menggigit bila dipegang yaitu pada jenis Asterophyrys tumpicota dari nugini, Ceratobathracus guantheri dari Solomon dan dari jenis/genus Ceratophrys serta Hemipractus dari amerika selatan. Sebagian Anura mengandalkan kaki belakangnya untuk melompat  dan menghindarkan dari bahaya, karena memiliki kaki yang pendek, suku Megophrydae dan Bufonidae umumnya menyelamtkan  diri sesuai dengan habitatnya untuk menghindari mangsanya. Selain itu banyak juga jenis Bufonidae dan beberapa jenis Ranidae yang dikenal karena kelenjer racun yang ada di kulitnya. Walaupun semua jenis Bufonidae dan beberapa jenis lain memang beracun, tapi racun ini tidak bisa mematikan manusia (Iskandar,1998).
          Anura di dunia terdiri dari 25 famili dengan 333 genera dan 3843 spesies. Sekitar 10 famili terdapat di Indonesia dan lima diantaranya terdapat disumatera yaitu, Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae dan Ravhoporidae (Soetyanto,1997).
          Suku Bufonidae sangat umum dan tersebar hamper diseluruh belahan dunia kecuali di daerah Australia-Papua dibelahan bumi selatan. Anggota dari Bufonidae kasar dan kekar penampilannya, dan pada beberapa jenis tubuh tertutupi oleh 6 marga diantaranya Bufo, Ansonia, Leptophryne, Pedostibes, Pelophryne dan Pseudobufo (Iskandar,1998).
          Soetyanto (1997) melakukan pengukuran terhadap karakter panjang badan, lebar kepala, panjang kepala, panjang kaki depan, panjang femur, panjang tibia, panjang kaki belakang, panjang moncong, diameter tympanum, diameter mata, jarak internares, jarak interorbital, jarak mta nares, jarak mata tympanum, panjang moncong tympanum, lebar moncong  pada tingkat lobang hidung dan pada tingkat mata.
  
II. PELAKSANAAN PRATIKUM

2.1 Waktu dan Tempat
Pratikum mengenai Identifikasi dan Morfologi Amphibia dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 21 Maret 2011, di Laboratorium Taksonomi Hewan.

2.2 Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada praktikum adalah bak bedah, vernier caliper, rol, alcohol, suntikan dan alat-alat tulis lainnya. Sedangkan bahan yang digunakan adalah Bufo asper, Bufo melanostictus, dan Ichtyophis glutinosus.

2.3 Cara Kerja
Objek disuntikkan dengan alkohol pada bagian kepala kemudian objek diletakkan pada bak bedah dengan posisi kepala disebelah kiri. Objek itu diamati dan digambar. Lakukan pengukuran serta perhitungan terhadap karakteristiknya, yaitu sebagai berikut : panjang badan(PB), panjang kaki depan (PKD), panjang kaki belakang(PKB), diameter mata(DM), urutan panjang jari kaki depan(UPJKD), lebar kepala(LK), panjang tibia fibula(PTF), panjang moncong(PM), jarak inter orbital(JIO), urutan panjang jari kaki belakang(UPJKB), panjang kepala(PK), panjang femur(PF), diameter tympanum(DT), jarak inter nares(JIN), bentuk kelenjar parotoid,

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari pratikum yang telah dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut :
3.1 Bufo asper (Kodok buduk sungai)
Bufo asper umumnya berwarna gelap hijau, hitam atau cokelat, dan sangat tertutup tuberkel. Kodok buduk sungai ini bisa tumbuh hingga panjang lebih dari 8,5 inci (22 cm). Kadang-kadang disebut sebagai Toad Sungai, adalah kodok besar asli Asia Tenggara. Kodok ini juga dikenal dengan nama lain selain toad sungai yaitu kodok buduk sungai, kodok puru besar, atau kodok batu. Dalam bahasa Inggris disebut Java toad, river toad atau Malayan giant toad. Klasifikasi dari Bufo asper ini adalah :
Kingdom                     : Animalia
Pilum                           : Chordata
Kelas                           : Amphibia
Ordo                            : Anura
Family                         : Bufonidae
Genus                          : Bufo
Spesies                        : Bufo asper, Gravenhorst, 1829
          Dari praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil pengukuran parameter tubuhnya yaitu sebagai berikut : PB = 70,00 mm, PKD = 35,00 mm, PKB = 45,00 mm, DM = 4,00 mm, UPJKD = 3>1>4>2, LK= 23,00 mm, PTF =  55,00 mm, PM = 10,00  mm, JIO = 20,00 mm, PK = 25,00 mm, PF = 29,00 mm, JIN = 5,00 mm, DT = 3,00  mm, UPJKB = 4>3>5>2>1, sedangkan untuk deskripsi bagian tubuhnya yaitu kepala berwarna coklat, bentuk kepala meruncing, kelenjer paratoid oval, tympanum berbentuk bulat hitam, punggung hitam berbintil memiliki tuberkel halus, paha hitam berbintil tidak memiliki ekstremitas, perut tidak buncit, tidak ada dorsolateral fold, procesus odontoid dan scapular marking, terdapat 4 phalanges tutupan selaput renang.
          Menurut Iskandar (1998), Bufo asper mempunyai ciri badan besar dan gemuk, supraorbitalnya sedikit lebih besar dan berhubungan dengan bagian tengah subtympani dengan tympanum jelas dan paratiroid sangat menonjol  yang sesuai dengan literature.
Menurut Van Kampen (1923), bahwa habitat Bufo asper umumnya dijumpai sepanjang sungai yang lebar sampai anak sungai dengan lebar 2 meter. Bahkan dijumpai di sekitar air terjun, hidup dari hutan skunder sampai hutan primer, hutan dataran rendah sampai pegunungan. Bangkong sungai menyebar mulai dari Indochina di utara hingga ke Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Di Jawa tersebar hingga ke Pasuruan dan Malang di Jawa Timur.
Bangkong sungai adalah nama sejenis kodok dari suku Bufonidae. Nama ilmiahnya adalah Bufo asper Gravenhorst, 1829. Kodok buduk yang besar, tidak gendut dan agak ramping. Sering dengan bintil-bintil kasar dan benjol-benjol besar (asper, bahasa Latin = kasar, berduri). Jantan berukuran (dari moncong ke anus) 70-100 mm, betina 95-120 mm. Punggung berwarna coklat tua kusam, keabu-abuan atau kehitaman. Sisi bawah berbintik hitam. Jantan biasanya dengan kulit dagu yang kehitaman. Selaput renang sampai ke ujung jari kaki (Iskandar,1998)
Bangkong yang sering ditemui di dekat sungai, di bebatuan sampai ke tebing-tebing di bagian atas. Terkadang didapati pula di ranting semak belukar yang rendah. Aktif di waktu malam (nokturnal), kodok ini di siang hari bersembunyi di balik bebatuan;kadang-kadang berendam berkelompok dalam air yang tersembunyi.Kodok jantan bersuara memanggil betina dari tepi sungai ketika bulan purnama (Anonymous, 2011).

3.2 Bufo melanostictus (Kodok puru)
Kodok puru (Bufo melanostictus) adalah spesies kodok yang umum di Asia Selatan. Spesies tumbuh hampir 20 cm. Keturunan spesies selama musim hujan dan kecebong hitam. Kodok muda dapat dilihat dalam jumlah besar setelah musim hujan. Kodok ini menyebar luas mulai dari India, Republik Rakyat Cina selatan, Indochina sampai ke Indonesia bagian barat. Di Indonesia, dengan menumpang pergerakan manusia, hewan amfibi ini dengan cepat menyebar (menginvasi) dari pulau ke pulau. Kini bangkong kolong juga telah ditemui di Bali, Lombok, Sulawesi dan Papua barat. Klasifikasi dari Bufo melanostictus ini adalah :
Kingdom                     : Animalia
Pilum                           : Chordata
Subpilum                     : Vertebrata
Kelas                           : Amphibia
Ordo                            : Anura
Family                         : Bufonidae
Genus                          : Bufo
Spesies                        : Bufo melanostictus, Schneider, 1799.
          Dari praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil pengukuran parameter tubuhnya yaitu sebagai berikut : PB = 85,00 mm, PKD = 40,00 mm, PKB = 77,00 mm, DM = 5,00 mm, UPJKD = 3>4>1>2, LK= 20,00 mm, PTF =  45,00 mm, PM = 10,00  mm, JIO = 20,00 mm, PK = 30,00 mm, PF = 25,00 mm, JIN = 7,00 mm, DT = 7,00  mm, UPJKB = 2>3>1>4>5, sedangkan untuk deskripsi bagian tubuhnya yaitu kepala berwarna coklat, bentuk pada kepala tumpul, kelenjer paratoid bentuknya sedikit melonjong, tympanum berbentuk oval, punggung memiliki tuberkel kasar, perut buncit, tutupan selaput renang memiliki 4 phalanges, tidak memiliki dorsolateral fold, processus odontoid, ekstremitas pada paha dan scapular marking.
Menurut Iskandar (1998), kodok ini mempunyai garis supra orbital berwarna hitam, alur-alur supra-orbital dan supratimpanik menyambung, tidak ada alur parietal.Bagian punggung bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman.Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman.Tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang yang sangat pendek.
Iskandar (1998) menyatakan nama lokal untuk spesies ini adalah kodok puru, penamaan tersebut berdasarkan adanya benjolan-benjolan hitam yang tersebar di bagian atas tubuh. Habitat dari kodok ini selalu dekat hunian manusia , tidak terdapat di hutan hujan tropis atau hutan primer. Persebarannya di kawasan Ekosistem Leuser, Aceh singkil, Medan, Belawan, Bukit Lawang, Langkat, Jawa, Kalimantan, Gunung Batak, dan Cina Selatan sampai Semenanjung Malaka dan Pilipina.
Kodok berukuran sedang, yang dewasa berperut gendut, berbintil-bintil kasar. Bangkong jantan panjangnya (dari moncong ke anus) 55-80 mm, betina 65-85 mm. Di atas kepala terdapat gigir keras menonjol yang bersambungan, mulai dari atas moncong; melewati atas, depan dan belakang mata; hingga di atas timpanum (gendang telinga). Gigir ini biasanya berwarna kehitaman.Sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) yang besar panjang terdapat di atas tengkuk.Bagian punggung bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman.Ada pula yang dengan warna dasar kuning kecoklatan atau hitam keabu-abuan.Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman.Sisi bawah tubuh putih keabu-abuan, berbintil-bintil agak kasar.Telapak tangan dan kaki dengan warna hitam atau kehitaman; tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang yang sangat pendek. Hewan jantan umumnya dengan dagu kusam kemerahan (Anonimous, 2011).
Bangkong kolong paling sering ditemukan di sekitar rumah.Melompat pendek-pendek, kodok ini keluar dari persembunyiannya di bawah tumpukan batu, kayu, atau di sudut-sudut dapur pada waktu magrib; dan kembali ke tempat semula di waktu subuh.Terkadang, tempat persembunyiannya itu dihuni bersama oleh sekelompok kodok besar dan kecil; sampai 6-7 ekor.Bangkong ini kawin di kolam-kolam, selokan berair menggenang, atau belumbang, sering pada malam bulan purnama.Kodok jantan mengeluarkan suara yang ramai sebelum dan sehabis hujan untuk memanggil betinanya, kerapkali sampai pagi. Bunyinya: rrrk, ..rrrk, atau ...oorek-orek-orek-orekk !riuh rendah (Anonimous, 2011).
Pada saat-saat seperti itu, dapat ditemukan beberapa pasang sampai puluhan pasang bangkong yang kawin bersamaan di satu kolam.Sering pula terjadi persaingan fisik yang berat di antara bangkong jantan untuk memperebutkan betina, terutama jika betinanya jauh lebih sedikit. Oleh sebab itu, si jantan akan memeluk erat-erat punggung betinanya selama prosesi perkawinannya. Kadang-kadang dijumpai pula beberapa bangkong yang mati karena luka-luka akibat kompetisi itu; luka di moncong hewan jantan, atau luka di ketiak hewan betina (Anonimous, 2010).
Nampaknya kodok ini memiliki asosiasi yang erat dengan lingkungan hidup manusia.Dari waktu ke waktu, bangkong kolong terus memperluas daerah sebarannya mengikuti aktivitas manusia.Iskandar (1998) mencatat bahwa kodok ini tak pernah terdapat di dalam hutan hujan tropis.
3.3 Ichthyophis glutinosus (Amphibia cacing)
Hewan ini adalah tipe hewan endemik, habitatnya di dataran yang rendah atau tempat yang lembab.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.      Bufo asper, mempunyai bentuk kepala yang meuncing dengan warna coklat, berbintil, kelenjer parotoid berbentuk oval, tympanum bulat berwarna hitam dengan paha berbintil dan tidak memiliki ekstremitas, perutnya tidak buncit dan tutupan selaput renang memiliki 4 phalanges.
2. Bufo melanostictus,mempunyai bentuk kepala yang tumpul dengan warna coklat,  pahanya tidak memiliki ekstremitas, perut buncit, tutupan selaput renang memiliki 4 phalanges.

4.2 Saran
Pada praktikum selanjutnya diharapkan para praktikum untuk lebih teliti dan hati-hati dalam melakukan setiap pengukuran dan pengamatan serta pengidentifikasian, agar tidak terjadi lagi kesalahan seperti pada praktikum sebelumnya.
 DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2011. Bufo melanostictus. http : // Wikipedia. Co.id. 22 Maret 2011.
Anonymous, 2011. Bufo asper. http : // Wikipedia. Co.id. 22 Maret 2011.

Djafnir.1984. Kemungkinan Pembudidayaan Kodok Rana macrodont di Payakumbuh. Unand
Padang.
Djuhanda, T. 1983. Analisa Struktur Vertebrata Jilid I. Armico: Bandung.
Duellman, W. E. and L. Trueb. 1986. Biology of Amphibians. McGraw – Hill Book Company. New York.
Eprilurahman, 2007.Frogs and Toads of Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.International Seminar Advances in Biological Science. Fakultas Biologi UGM.
Inger,E.F and R.B. Stubieng.1997. A Dield Guide of The Frog of Borneo Natural History
Publication. Kota Kina balu. Science and technology Unit Sabah.
Iskandar, D.T. 1998. Amphibi Jawa dan Bali, seri Panduan Lapangan. Puslitbag Biologi-LIPI.
Jasin, M. 1984. Zologi Vertebrata. Armico. Bandung.
Nazri,M dan Novarino W. 2009. Penuntun Praktikum Taksonomi Hewan Vertebrata. Universitas Andalas. Padang.
Sidik. 1998. Seri Keanekaragaman Flora dan Fauna I, Reptile dan Amphibian di Pulau Supid. Catatan singkat keanekaragaman Jenis dan habitatnya.
Soetyanto, D.Y. 1997. Keanekaragaman dan Perkerabatan Amphibi Riparia serta Beberapa
Aspek Ekologinya di Sumatera Barat. Tesis Magister program Studi Biologi Pasca Sarjana. ITB : Bandung.
Van Kampen, P.N. 1923. The Amphibia of Indo-Australian Archipelao. Leiden.
Lampiran 1. Pengukuran parameter Amphibia

1
2
3
Spesies
Bufo asper
Bufo melanostictus
Ichthyophis glutinosus
Vern. Name
Kodok buduk sungai
Kodok puru
Amphibia cacing
PB
70,00 mm
85, 00 mm

PKD
35,00 mm
40, 00 mm

PKB
45,00 mm
5,00 mm

LK
23, 00 mm
30,00 mm

PK
25, 00 mm
30,00 mm

PTF
55, 00 mm
45,00 mm

PF
29, 00 mm
25,00 mm

PM
10, 00 mm
10, 00 mm

DM
4, 00 mm
5,00 mm

DT
 3, 00 mm
7,00 mm

JIO
 20, 00 mm
20,00 mm

JIN
 5, 00 mm
7,00 mm

UPJKD
3>1>4>2
3>4>1>2

UPJKB
4>3>5>2>1
2>3>1>4>5

OP



Warna kepala
Coklat
Coklat

Bentuk kepala
Meruncing
Tumpul

Kelenjar parotoid
Oval 
Melonjong 

Tympanum
Bulat
Oval

Punggung
Tuberkel halus 
Tuberkel kasar

Dorsolateral fold



Processus odontoid



Scapular marking



Perut
 Tidak buncit
Buncit

Selaput renang
4 phalanges
4 phalanges



Tidak ada komentar:

Posting Komentar