I. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Herpetofauna
berasal dari kata herpeton yaitu binatang melata. Dahulu, sebelum ilmu taksonomi berkembang maju, amfibi dan reptil
dimasukkan menjadi satu kelompok hewan karena diangap sama-sama melata.Dengan
berkembangnya ilmu, mereka kini menjadi dua kelompok terpisah. Kedua
kelompok ini masuk ke dalam satu bidang yaitu ilmu herpetologi karena mereka
mempunyai cara hidup dan habitatnya yang hampir serupa, sama-sama satwa
vertebrata ektotermal (membutuhkan sumber panas eksternal), serta metode untuk
pengamatan dan koleksi yang serupa.
Indonesia memiliki jenis-jenis amfibi dan reptil yang beragam. Posisi
geografis Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan benua
Australia merupakan salah satu sebab beragamnya jenis ini. Baik amfibi
maupun reptil ditemukan di semua pulau-pulau di Indonesia mulai dari dataran
rendah sampai dataran tinggi. Amfibi tidak dijumpai di laut, namun
sebaliknya reptil memiliki penyebaran yang lebih beragam (Mirza, 2010).
Amfibia atau amfibi (Amphibia), umumnya didefinisikan sebagai hewan
bertulang belakang (vertebrata)
yang hidup di dua alam, yakni
di air dan di daratan. Amfibia bertelur
di air, atau menyimpan telurnya di tempat yang lembab dan basah. Ketika
menetas, larvanya yang dinamai berudu hidup di air atau tempat basah tersebut dan bernapas dengan insang. Setelah beberapa
lama, berudu kemudian berubah bentuk (bermetamorfosa)
menjadi hewan dewasa, yang umumnya hidup di daratan atau di tempat-tempat yang
lebih kering dan bernapas dengan paru-paru (Iskandar, 1998).
Amfibia merupakan hewan yang kerap disebut berdarah dingin. Istilah
ini kuranglah tepat karena suhu bagian dalam, yang diatur mengunakan perilaku
mereka, seringkali lebih panas daripada burung dan mamalia terutama pada saat
mereka aktif.Bahan suhu tubuh mereka, terutama di iklim panas, bisa jadi lebih
panas daripada hewan-hewan yang dikenal sebagai “berdarah panas”. Baik amfibi
maupun reptil bersifat ectothermic dan poikilotherm yang
berarti mereka menggunakan sumber panas dari lingkungan untuk memperoleh
energi. Perbedaan utama antara “berdarah dingin” dan “berdarah panas” adalah
yang pertama suhu tubuhnya lebih berfluktuasi dengan adanya masukan dari
lingkungan.Sementara hewan berdarah panas (mamalia, misalnya) adalah
homeothermic dimana suhu tubuh dikelola dengan metabolism tubuh.Beberapa reptil
besar seperti buaya, penyu dan kadal besar bahkan mencapai tingkat homeothermy,
yaitu suhu mereka tidak terlalu berfluktuasi dengan lingkungan. Hal ini
disebabkan oleh adanya proses giganthothermy, dimana hewan yang sangat besar
akan mempertahankan suhu badan konstan dengan sedikit masukan dari lingkungan
(Mirza, 2010).
Hewan poikilotherm memiliki
metabolism rendah, oleh karena itu mereka mampu tidak makan dalam waktu yang
relatif lama. Sebagai contoh, beberapa jenis ular dapat makan hanya satu
bulan sekali. Namun demikian, kebanyakan
katak harus makan setiap hari atau beberapa hari sekali, kecuali pada
saat dorman dimana mereka bisa tidak makan selama beberapa bulan (Nazri dan
Novarino, 2009).
Morfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk luar suatu organisme.Bentuk
luar dari organisme ini merupakan salah satu ciri yang mudah dilihat dan
diingat dalam mempelajari organisme. Bentuk tubuh pada mahluk hidup, termasuk
pada hewan air juga erat kaitannya dengan anatomi, sehingga ada baiknya sebelum
melihat anatominya; terlebih dahulu kita melihat bentuk tubuh atau penampilan
(morfologi) hewan tersebut.Adapun yang dimaksud dengan bentuk luar organisme
ini adalah bentuk tubuh, termasuk di dalamnya warna tubuh yang kelihatan dari
luar. Amphibia merupakan hewan vertebrata yang suhu tubuhnya tergantung suhu
lingkungan, kulit lunak tanpa ditutupi oleh rambut atau bulu. Amphibia terdiri
dari tiga bangsa yaitu Caudata atau Salamander merupakan satu-satunya bangsa yang
tidak terdapat di Asia Tenggara, Sesilia atau Gimnophiona berbentuk seperti
cacing dan yang ketiga adalah Anura yang lazim kita kenal sebagai katak atau
kodok. (Iskandar, 1998).
Amphibia mempunyai potensi yang cukup besar untuk
membantu manusia menanggulangi hama serangga. Alasannya, pertama karena pakan
utama hampir seluruh jenis amphibi adalah serangga dan larvanya, kedua karena
amphibi mudah dijumpai dimana saja.Amphibi juga sangat erat kaitannya dengan
manusia, diantaranya dalam dunia kedokteran, amphibi telah lama dimanfaatkan
untuk tes kehamilan yang banyak dijual di apotik seperti sekarang. Beberapa
lembaga penelitian, saat ini tengah melakukan mencari berbagai bahan anti
bakteri dari beberapa jenis amfibi yang diketahui memiliki ratusan kelenjar
yang terletak di bawah jaringan kulit.Beberapa peneliti juga sedang meneliti
kemungkinan memanfaatkan cairan kelenjar dari beberapa jenis amphibi yang biasa
lengket untuk digunakan sebagai bahan perekat alami (Djuhanda, 1983).
Ketergantungan amfibi terhadap
lingkungannya bagi kepentingan suhu tubuhnya membuat amfibi umumnya terbatas
pada habitat spesifik. Karena amfibi memiliki kontrol yang kecil terhadap
suhu tubuhnya, maka demi kesehatan maka amfibi harus tetap berada dalam lingkungan
dengan batas-batas suhu yang sesuai.Dalam satu habitat, banyak terdapat
mikro-habitat yang memiliki suhu berbeda dengan suhu ambien. Amfibi menggunakan
posisi tubuh untuk memanfaatkan mikro-habitat ini, yaitu dengan cara memaparkan
tubuh ke permukaan atau sebaliknya. Beberapa jenis amfibi juga mampu mengurangi
kehilangan uap air dari kulit, yang merupakan tehnik penguruangan suhu yang
penting.Kebanyakan amfibi mampu mengubah warna agar mampu menyerap atau
merefleksikan jumlah radiasi matahari. Katak pohon dari marga Hylidae misalnya,
seringkali memiliki warna hijau yang berbeda saat panas (Mirza, 2010).
Amphibia juga sangat peka terhadap perubahan
lingkungan.Kepekaan ini dapat dijadikan sebagai indikator terjadinya perubahan
lingkungan di sekitarnya.Dampak perubahan lingkungan terlihat pada turunnya
populasi yang disertai turunnya keanekaragaman jenis kodok.Contoh amfibia yang
terdapat di Indonesia adalah bangsa sesilia
(Caecilia), serta bangsa kodok dan katak (Anura).Sesilia adalah semacam amfibia tidak
berkaki yang badannya serupa cacing besar atau belut.Satu lagi bangsa amfibia, yang tidak terdapat secara
alami di Indonesia, adalah salamander.Amfibia dari
daerah bermusim empat ini bertubuh serupa kadal, namun berkulit
licin tanpa sisik (Eprilurahman, 2007).
Anura
merupakan kelompok amphibi yang terbesar dan sangat beragam, terdiri dari lebih
4100 jenis katak atau kodok. Sekitar 450 jenis telah dicatat dari Indonesia,
merupakan taksa individu diluar Amerika Selatan mewakili 11% dari seluruh anura
di dunia (Iskandar,1998).
Amphibian merupakan peralihan dari hewan
amniota akuatik dengan teresterial, telurnya tidak punya cangkang sehingga
dapat lebih mudah dipelajari untuk biologi perkembangan (Duelman dan Trueb, 1986).
Katak dianggap sebagai salah satu
contoh vertebrata yang dipelajari, karena ketersediannya, kesenggangan dan
pembelajaran serta kepentingan di penelitian zoologi yang sangat dibutuhkan.
Memang tidak satupun tipe yang benar-benar bisa mewakili dari macam-macam
subfilum. Sebagai salah satu anggota dari amphibian, berlangsung sesuatu yang
berkenaan dengan evolusi. Posisi atau tempat diantara yang primitive, nenek
moyang dan lanjutan dari mamalia darat (Nazri dan
Novarino, 2009).
Di dunia,
Anura terdiri dari 25 family dengan 333 genera dan 3843 spesies. Di Indonesia
terdapat 10 famili Anura yaitu Bufonidae, Bombinatoridae, Myobatrachidae,
Megophrydae, Ranidae, Rhacophoridae, Pelodrydidae, Hylidae, dan Limnodynastidae
dengan lebih kurang 489 spesies (Nazri dan
Novarino, 2009).
Family
Bufonidae yang ditemukan di Indonesia terdiri dari enam genus yaitu Ansonia,
Leptophryne, Pedostibes, Pelophryne, Pseudobufo dan Bufo. Bufo merupakan genus
yang paling umum dan tersebar diantara
semua bufonidae. Bufo memiliki ciri-ciri tubuh gemuk, tekstur kulitnya sangat
kasar, tertutup oleh bintil besar dan kecil, terdapat sepasang kelenjer
paratoid dibelakang mata yang menghasilkan kelenjer racun untuk melindungi diri
dari predator (Inger dan Stuebing, 1997).
Sedangkan kunci determinasi
itu adalah suatu cara pengelompokan spesies ikan berdasarkan karakter
morfologinya. Gunanya kunci determinasinya ini adalah untuk mempermudah dalam
pengenalan spesies-spesies ikan, biasanya diukur oleh dua karakter (Munshi,
1996).
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum mengenai Identifikasi, Morfologi dan Kunci
Determinasi Amphibia ini adalah untuk mengetahui karakteristik morfologi
dari beberapa jenis Anura dan membuat kunci identifikasinya berdasarkan
karakter yang diperoleh.
1.3
Tinjauan
Pustaka
Amfibi merupakan
hewan yang kerap disebut berdarah dingin. Istilah ini kuranglah tepat
karena suhu bagian dalam, yang diatur mengunakan perilaku mereka, seringkali
lebih panas daripada burung dan mamalia terutama pada saat mereka aktif.Bahan
suhu tubuh mereka, terutama di iklim panas, bisa jadi lebih panas daripada
hewan-hewan yang dikenal sebagai “berdarah panas”. Amfibi bersifat ectothermic
dan poikilotherm yang berarti mereka menggunakan sumber panas
dari lingkungan untuk memperoleh energi. Perbedaan utama antara “berdarah
dingin” dan “berdarah panas” adalah yang pertama suhu tubuhnya lebih berfluktuasi
dengan adanya masukan dari lingkungan.Sementara hewan berdarah panas (mamalia,
misalnya) adalah homeothermic dimana suhu tubuh dikelola dengan metabolisme
tubuh. Hal ini disebabkan oleh adanya proses giganthothermy, dimana hewan yang
sangat besar akan mempertahankan suhu badan konstan dengan sedikit masukan dari
lingkungan (Mirza, 2010).
Amphibi merupakan hewan dengan
kelembaban kulit yang tinggi, tidak tertutupi oleh rambut dan mampu hidup di
air maupun di darat.Pada fase berudu amphibi hidup di perairan dan bernafas
dengan insang.Pada fase ini berudu bergerak menggunakan ekor.Pada fase dewasa
hidup di darat dan bernafas dengan paru-paru.Pada fase dewasa ini amphibi
bergerak dengan kaki. Perubahan cara bernafas yang seiring dengan peralihan kehidupan
dari perairan ke daratan menyebabkan hilangnya insang dan rangka insang lama
kelamaan menghilang. Pada anura, tidak ditemukan leher sebagai mekanisme
adaptasi terhadap hidup di dalam liang dan bergerak dengan cara melompat
(Duellman and Trueb, 1986).
Amphibian
merupakan perintis vertebrata daratan,
paru-paru dan tulang anggota tubuh yang diwarisi dari moyang Krosopterigia,
memberikan lokomosi dan bernafas di udara. Atrium kedua dalamnya untuk dipompa
keseluruhan badan dengan tekanan penuh (Jasin, 1984).
Amphibi terdiri dari tiga ordo yaitu
Urodela, Anura dan Gymnophiona. Urodela dikenal juga dengan caudate atau
salamander merupakan satu-satunya bangsa yang tidak terdapat dihampir seluruh
asia tenggara, termasuk Indonesia. Daerah terdekat yang dihuni oleh salamander
adalah Vietnam utara dan Thailand utara. Ordo kedua yang paling terkenal, yang paling kecil dan sangat
jarang ditemui adalah Gymnophiona atau
Cecilia, bentuknya seperti cacing dengan kepala dan mata yang tampka
jelas dan mudah dikelirukan dengan
cacing. Sebagian besar amphibi Indonesia termasuk kedalam ordo ketiga yaitu
anura atau katak. Katak yang paling primitive terdapat di Kalimantan dan
termasuk kedalam suku Bombinatoridae (Discoglissidae). Kelompok katak lain yang
dianggap primitive termasuk kedalam suku kedua yaitu Megophryidae
(Paleobattidae) dan 2 jenis introduksi dari suku pipidae (Xenopuslaevis dan
Hymenochirus sp). Katak lain yang tidak termasuk kedalam kedua golongan
tersebut akan mewakili semua katakdianggap sebagai katak yang telah maju
(Iskandar,1998).
Ciri-ciri lain dari 3 ordo amphibian,
yaitu larva dari salamander dapat mempertahankan insangnya selama hidupnya.
Sebenarnya pada amphibi terdapat banyak archus aorticus, seperti pada ikan.
Amphibi hanya memiliki beberapa arcus aorticus setelah mengalami metamorphosis,
tapi sepasang arcus aorticusnya seprti pada reptilian. Amphibi Labirinthodont
(yang sudah berupa fosil) diduga sebagai nenek moyang dari reptilian yang
paling tua dan juga untuk semua vertebrata darat yang tinggi. Salamander
mempunyai caput, cerviks dan truncus yang silindris atau agak pipih dan
mempunyai caudal yang panjang. Sedangkan 2 ordo yang lainnya mempunyai caput
dan truncus tanpa cervix dan caudal, extremitas muka kecil sedangkan yang
belakang panjang, selaput gendang pendengar tampak dari luar. Pada ordo Cecilia
badan seolah-olah tersusun atas gelang-gelang dan kulitnya mengandung sisik
dalam (Jasin,1984).
Salah satu ciri khas katak adalah
memiliki fase atau siklus hidup yang kompleks. Siklus hidup katak disebut
metamorphosis. Setiap spesies katak mempunyai fase hidup tersendiri (Inger dan
Stubieng,1997).
Pada umunya
katak aktif pada malam hari (nocturnal) dan biasanya berada dengan posisi
kepala mengahadap ke air (Djafnir,1984). Ketika makan, katak menjulurkan
lidahnya yang panjang dan lunak untuk menangkap mangsa. Makannannya terutama
terdiri dari arthropoda, cacing, larva serangga, ikan kecil, udang, kerang,
katak muda bahkan kadal, ular dan tikus kecil (Iskandar, 1998 ; Inger and
Stubieng, 1997 : Harun, 1984). Suhu udara yang turun pada malam hari dan
naiknya elembaban udara atau kalau ada hujan member kondisi yang baik bagi
kegiatan katak (Sidik,1998).
Menurut Djuhanda (1983), tubuh
Anura terdiri dari kepala dan badan, leher belum nampak jelas padanya. Kulit
sebagian terlepas dari otot, sehingga yang ada disebelah dalam saja yang
melekat pada otot, kulit katak yang terlepas dari otot merupakan rongga-rongga yang berisi cairan
karena adanya sekresi kelenjer-kelenjer mucus, yang bnayak sekali terdapat pada
kelas amphibia ini. Selain itu, kulit-kulit katak ini juga mengandung
kapiler-kapiler darah dan cabang-cabang vena kurenea magna dan arterikuranea.
Anura tidak
mempunyai alat fisik untuk mempertahankan diri, hampi semua anggota dari genus
Limnonectes mempunyai geligi seperti taring dibagian depan rahang atas yang
berfungsi sebagai alat pertahanan diri. Hanya ada 4 jenis katak yang dapat
menggigit bila dipegang yaitu pada jenis Asterophyrys tumpicota dari nugini,
Ceratobathracus guantheri dari Solomon dan dari jenis/genus Ceratophrys serta
Hemipractus dari amerika selatan. Sebagian Anura mengandalkan kaki belakangnya
untuk melompat dan menghindarkan dari
bahaya, karena memiliki kaki yang pendek, suku Megophrydae dan Bufonidae
umumnya menyelamtkan diri sesuai dengan
habitatnya untuk menghindari mangsanya. Selain itu banyak juga jenis Bufonidae
dan beberapa jenis Ranidae yang dikenal karena kelenjer racun yang ada di
kulitnya. Walaupun semua jenis Bufonidae dan beberapa jenis lain memang
beracun, tapi racun ini tidak bisa mematikan manusia (Iskandar,1998).
Anura di
dunia terdiri dari 25 famili dengan 333 genera dan 3843 spesies. Sekitar 10
famili terdapat di Indonesia dan lima diantaranya terdapat disumatera yaitu,
Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae dan Ravhoporidae
(Soetyanto,1997).
Suku Bufonidae sangat umum dan
tersebar hamper diseluruh belahan dunia kecuali di daerah Australia-Papua
dibelahan bumi selatan. Anggota dari Bufonidae kasar dan kekar penampilannya,
dan pada beberapa jenis tubuh tertutupi oleh 6 marga diantaranya Bufo, Ansonia,
Leptophryne, Pedostibes, Pelophryne dan Pseudobufo (Iskandar,1998).
Soetyanto (1997) melakukan pengukuran
terhadap karakter panjang badan, lebar kepala, panjang kepala, panjang kaki
depan, panjang femur, panjang tibia, panjang kaki belakang, panjang moncong,
diameter tympanum, diameter mata, jarak internares, jarak interorbital, jarak
mta nares, jarak mata tympanum, panjang moncong tympanum, lebar moncong pada tingkat lobang hidung dan pada tingkat
mata.
II. PELAKSANAAN PRATIKUM
2.1 Waktu dan Tempat
Pratikum mengenai Identifikasi dan Morfologi
Amphibia dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 21 Maret 2011, di Laboratorium
Taksonomi Hewan.
2.2 Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada praktikum adalah bak
bedah, vernier caliper, rol, alcohol, suntikan dan alat-alat tulis lainnya.
Sedangkan bahan yang digunakan adalah Bufo
asper, Bufo melanostictus, dan Ichtyophis glutinosus.
2.3 Cara Kerja
Objek
disuntikkan dengan alkohol pada bagian kepala kemudian objek diletakkan pada
bak bedah dengan posisi kepala disebelah kiri. Objek itu diamati dan digambar.
Lakukan pengukuran serta perhitungan terhadap karakteristiknya, yaitu sebagai
berikut : panjang badan(PB), panjang kaki depan (PKD), panjang kaki
belakang(PKB), diameter mata(DM), urutan panjang jari kaki depan(UPJKD), lebar
kepala(LK), panjang tibia fibula(PTF), panjang moncong(PM), jarak inter
orbital(JIO), urutan panjang jari kaki
belakang(UPJKB), panjang
kepala(PK), panjang femur(PF), diameter tympanum(DT), jarak inter nares(JIN), bentuk kelenjar parotoid,
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari pratikum yang telah dilakukan didapatkan
hasil sebagai berikut :
3.1 Bufo asper (Kodok buduk sungai)
Bufo asper
umumnya berwarna gelap hijau, hitam
atau cokelat,
dan sangat tertutup tuberkel. Kodok buduk sungai ini bisa tumbuh hingga panjang lebih dari 8,5
inci (22 cm). Kadang-kadang
disebut sebagai Toad Sungai, adalah kodok besar asli Asia Tenggara. Kodok ini juga dikenal dengan
nama lain selain toad sungai yaitu
kodok buduk sungai, kodok puru besar, atau kodok batu. Dalam bahasa Inggris disebut Java
toad, river toad atau Malayan giant toad. Klasifikasi dari Bufo asper ini adalah :
Kingdom : Animalia
Pilum : Chordata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Family : Bufonidae
Genus : Bufo
Spesies : Bufo asper, Gravenhorst, 1829
Dari
praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil pengukuran parameter tubuhnya
yaitu sebagai berikut : PB = 70,00 mm, PKD = 35,00 mm, PKB = 45,00 mm, DM = 4,00 mm, UPJKD =
3>1>4>2, LK= 23,00 mm, PTF = 55,00 mm, PM = 10,00 mm, JIO = 20,00 mm, PK = 25,00 mm, PF = 29,00 mm, JIN = 5,00 mm, DT = 3,00 mm, UPJKB = 4>3>5>2>1, sedangkan
untuk deskripsi bagian tubuhnya yaitu kepala berwarna coklat, bentuk kepala meruncing, kelenjer
paratoid oval, tympanum berbentuk bulat hitam,
punggung hitam berbintil memiliki tuberkel halus, paha hitam
berbintil tidak memiliki ekstremitas, perut tidak buncit, tidak ada
dorsolateral fold, procesus odontoid dan scapular marking, terdapat 4 phalanges
tutupan selaput renang.
Menurut Iskandar (1998), Bufo asper mempunyai ciri badan besar
dan gemuk, supraorbitalnya sedikit lebih besar dan berhubungan dengan bagian
tengah subtympani dengan tympanum jelas dan paratiroid sangat menonjol yang sesuai dengan literature.
Menurut Van Kampen (1923), bahwa habitat Bufo asper umumnya dijumpai sepanjang sungai yang lebar sampai anak
sungai dengan lebar 2 meter. Bahkan dijumpai di sekitar air terjun, hidup dari
hutan skunder sampai hutan primer, hutan dataran rendah sampai pegunungan.
Bangkong sungai menyebar mulai dari Indochina
di utara hingga ke Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Di Jawa tersebar hingga ke Pasuruan
dan Malang
di Jawa Timur.
Bangkong sungai adalah nama
sejenis kodok dari suku Bufonidae. Nama ilmiahnya adalah Bufo asper
Gravenhorst, 1829. Kodok buduk yang besar, tidak gendut dan agak ramping.
Sering dengan bintil-bintil kasar dan benjol-benjol besar (asper, bahasa Latin
= kasar, berduri). Jantan berukuran (dari moncong ke anus) 70-100 mm, betina
95-120 mm. Punggung berwarna coklat tua kusam, keabu-abuan atau kehitaman. Sisi
bawah berbintik hitam. Jantan biasanya dengan kulit dagu yang kehitaman.
Selaput renang sampai ke ujung jari kaki (Iskandar,1998)
Bangkong yang sering ditemui
di dekat sungai, di bebatuan sampai ke tebing-tebing di bagian atas. Terkadang
didapati pula di ranting semak belukar yang rendah. Aktif di waktu malam
(nokturnal), kodok ini di siang hari bersembunyi di balik
bebatuan;kadang-kadang berendam berkelompok dalam air yang tersembunyi.Kodok
jantan bersuara memanggil betina dari tepi sungai ketika bulan purnama (Anonymous,
2011).
3.2 Bufo melanostictus (Kodok
puru)
Kodok puru (Bufo
melanostictus) adalah spesies kodok
yang umum di Asia Selatan. Spesies tumbuh hampir 20 cm.
Keturunan spesies selama musim hujan dan kecebong hitam. Kodok muda dapat dilihat dalam jumlah besar
setelah musim hujan. Kodok ini menyebar luas
mulai dari India, Republik
Rakyat Cina selatan, Indochina
sampai ke Indonesia
bagian barat. Di Indonesia, dengan menumpang pergerakan manusia, hewan amfibi
ini dengan cepat menyebar (menginvasi) dari pulau ke pulau. Kini
bangkong kolong juga telah ditemui di Bali, Lombok, Sulawesi dan Papua barat. Klasifikasi dari Bufo melanostictus ini adalah :
Kingdom : Animalia
Pilum : Chordata
Subpilum : Vertebrata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Family : Bufonidae
Genus : Bufo
Spesies : Bufo melanostictus, Schneider, 1799.
Dari
praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil pengukuran parameter tubuhnya
yaitu sebagai berikut : PB = 85,00 mm, PKD
= 40,00 mm, PKB = 77,00 mm, DM = 5,00 mm, UPJKD =
3>4>1>2, LK= 20,00 mm, PTF = 45,00 mm, PM = 10,00 mm, JIO = 20,00 mm, PK = 30,00 mm, PF = 25,00 mm, JIN = 7,00 mm, DT = 7,00 mm,
UPJKB = 2>3>1>4>5, sedangkan untuk deskripsi
bagian tubuhnya yaitu kepala berwarna coklat, bentuk pada kepala tumpul, kelenjer paratoid bentuknya sedikit melonjong, tympanum berbentuk oval, punggung memiliki tuberkel kasar, perut buncit, tutupan selaput renang memiliki 4 phalanges, tidak memiliki dorsolateral
fold, processus odontoid, ekstremitas pada paha dan scapular marking.
Menurut
Iskandar (1998), kodok ini
mempunyai garis supra orbital berwarna hitam, alur-alur supra-orbital dan
supratimpanik menyambung, tidak ada alur parietal.Bagian punggung bervariasi
warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai
kehitaman.Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman.Tanpa
selaput renang, atau kaki dengan selaput renang yang sangat pendek.
Iskandar (1998) menyatakan nama
lokal untuk spesies ini adalah kodok puru, penamaan tersebut berdasarkan adanya
benjolan-benjolan hitam yang tersebar di bagian atas tubuh. Habitat dari
kodok ini selalu dekat hunian manusia , tidak terdapat di hutan hujan tropis
atau hutan primer. Persebarannya di kawasan Ekosistem Leuser, Aceh singkil,
Medan, Belawan, Bukit Lawang, Langkat, Jawa, Kalimantan, Gunung Batak, dan Cina
Selatan sampai Semenanjung Malaka dan Pilipina.
Kodok berukuran sedang, yang dewasa berperut gendut, berbintil-bintil
kasar. Bangkong jantan panjangnya (dari moncong
ke anus)
55-80 mm, betina 65-85 mm. Di atas kepala terdapat gigir keras menonjol yang
bersambungan, mulai dari atas moncong; melewati atas, depan dan belakang mata; hingga di atas
timpanum (gendang telinga).
Gigir ini biasanya berwarna kehitaman.Sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) yang besar panjang
terdapat di atas tengkuk.Bagian punggung bervariasi warnanya antara coklat
abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman.Ada pula yang dengan
warna dasar kuning kecoklatan atau hitam keabu-abuan.Terdapat bintil-bintil
kasar di punggung dengan ujung kehitaman.Sisi bawah tubuh putih keabu-abuan,
berbintil-bintil agak kasar.Telapak tangan dan kaki dengan warna hitam atau
kehitaman; tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang yang sangat
pendek. Hewan jantan umumnya dengan dagu kusam kemerahan (Anonimous, 2011).
Bangkong kolong paling sering ditemukan di sekitar rumah.Melompat
pendek-pendek, kodok ini keluar dari persembunyiannya di bawah tumpukan batu,
kayu, atau di sudut-sudut dapur pada waktu magrib; dan kembali ke tempat semula
di waktu subuh.Terkadang, tempat persembunyiannya itu dihuni bersama oleh
sekelompok kodok besar dan kecil; sampai 6-7 ekor.Bangkong ini kawin di kolam-kolam, selokan
berair menggenang, atau belumbang, sering pada malam bulan purnama.Kodok
jantan mengeluarkan suara yang ramai sebelum dan sehabis hujan untuk memanggil
betinanya, kerapkali sampai pagi. Bunyinya: rrrk, ..rrrk, atau ...oorek-orek-orek-orekk !riuh
rendah (Anonimous, 2011).
Pada
saat-saat seperti itu, dapat ditemukan beberapa pasang sampai puluhan pasang
bangkong yang kawin bersamaan di satu kolam.Sering pula terjadi persaingan
fisik yang berat di antara bangkong jantan untuk memperebutkan betina, terutama
jika betinanya jauh lebih sedikit. Oleh sebab itu, si jantan akan memeluk
erat-erat punggung betinanya selama prosesi perkawinannya. Kadang-kadang
dijumpai pula beberapa bangkong yang mati karena luka-luka akibat kompetisi
itu; luka di moncong hewan jantan, atau luka di ketiak hewan betina (Anonimous,
2010).
Nampaknya kodok ini memiliki asosiasi yang erat dengan lingkungan
hidup manusia.Dari waktu ke waktu, bangkong kolong terus memperluas daerah
sebarannya mengikuti aktivitas manusia.Iskandar (1998) mencatat bahwa kodok ini
tak pernah terdapat di dalam hutan hujan tropis.
3.3 Ichthyophis
glutinosus (Amphibia cacing)
Hewan ini adalah tipe hewan endemik, habitatnya di
dataran yang rendah atau tempat yang lembab.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari
praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.
Bufo asper, mempunyai bentuk kepala yang meuncing dengan warna coklat, berbintil,
kelenjer parotoid berbentuk oval, tympanum
bulat berwarna hitam dengan paha berbintil dan tidak memiliki ekstremitas, perutnya
tidak buncit dan tutupan selaput renang memiliki 4 phalanges.
2.
Bufo
melanostictus,mempunyai bentuk
kepala yang tumpul dengan warna coklat,
pahanya tidak memiliki ekstremitas, perut buncit, tutupan selaput renang memiliki 4 phalanges.
4.2 Saran
Pada
praktikum selanjutnya diharapkan para praktikum untuk lebih teliti dan
hati-hati dalam melakukan setiap pengukuran dan pengamatan serta
pengidentifikasian, agar tidak terjadi lagi kesalahan seperti pada praktikum
sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2011. Bufo melanostictus. http : // Wikipedia. Co.id. 22 Maret 2011.
Anonymous, 2011. Bufo asper. http : // Wikipedia. Co.id. 22 Maret 2011.
Djafnir.1984.
Kemungkinan Pembudidayaan Kodok Rana
macrodont di Payakumbuh. Unand
Padang.
Djuhanda, T. 1983. Analisa Struktur
Vertebrata Jilid I. Armico: Bandung.
Duellman, W. E. and L. Trueb. 1986. Biology of
Amphibians. McGraw – Hill Book Company. New York.
Eprilurahman, 2007.Frogs and Toads of Daerah
Istimewa Yogyakarta, Indonesia.International Seminar Advances in
Biological Science. Fakultas Biologi UGM.
Inger,E.F
and R.B. Stubieng.1997. A Dield Guide of
The Frog of Borneo Natural History
Publication. Kota Kina
balu. Science and technology Unit Sabah.
Iskandar, D.T. 1998. Amphibi Jawa dan Bali, seri Panduan Lapangan.
Puslitbag Biologi-LIPI.
Jasin, M.
1984. Zologi Vertebrata. Armico.
Bandung.
Mirza,
dkk. 2010. Amphibi. http://alasyjaaripb.files.wordpress.com/2010/11/pengenalan-herpetofauna_2010.doc. 22
Maret 2011.
Nazri,M
dan Novarino W. 2009. Penuntun
Praktikum Taksonomi Hewan Vertebrata. Universitas Andalas. Padang.
Sidik. 1998. Seri
Keanekaragaman Flora dan Fauna I, Reptile dan Amphibian di Pulau Supid.
Catatan singkat keanekaragaman Jenis dan habitatnya.
Soetyanto,
D.Y. 1997. Keanekaragaman dan
Perkerabatan Amphibi Riparia serta Beberapa
Aspek Ekologinya di Sumatera
Barat. Tesis Magister program Studi Biologi Pasca Sarjana. ITB :
Bandung.
Van Kampen, P.N. 1923. The Amphibia
of Indo-Australian Archipelao. Leiden.
Lampiran 1. Pengukuran parameter Amphibia
1
|
2
|
3
|
|
Spesies
|
Bufo
asper
|
Bufo
melanostictus
|
Ichthyophis
glutinosus
|
Vern. Name
|
Kodok
buduk sungai
|
Kodok
puru
|
Amphibia
cacing
|
PB
|
70,00
mm
|
85, 00
mm
|
|
PKD
|
35,00 mm
|
40, 00
mm
|
|
PKB
|
45,00 mm
|
5,00 mm
|
|
LK
|
23, 00 mm
|
30,00 mm
|
|
PK
|
25, 00 mm
|
30,00 mm
|
|
PTF
|
55, 00 mm
|
45,00 mm
|
|
PF
|
29, 00 mm
|
25,00 mm
|
|
PM
|
10, 00 mm
|
10, 00 mm
|
|
DM
|
4, 00 mm
|
5,00 mm
|
|
DT
|
3, 00 mm
|
7,00 mm
|
|
JIO
|
20, 00 mm
|
20,00 mm
|
|
JIN
|
5, 00 mm
|
7,00 mm
|
|
UPJKD
|
3>1>4>2
|
3>4>1>2
|
|
UPJKB
|
4>3>5>2>1
|
2>3>1>4>5
|
|
OP
|
|||
Warna kepala
|
Coklat
|
Coklat
|
|
Bentuk kepala
|
Meruncing
|
Tumpul
|
|
Kelenjar parotoid
|
Oval
|
Melonjong
|
|
Tympanum
|
Bulat
|
Oval
|
|
Punggung
|
Tuberkel
halus
|
Tuberkel
kasar
|
|
Dorsolateral fold
|
|||
Processus odontoid
|
|
|
|
Scapular marking
|
|
|
|
Perut
|
Tidak buncit
|
Buncit
|
|
Selaput renang
|
4
phalanges
|
4
phalanges
|